Ki Bondan Riyanto, Dalang Reformasi dari Kebumen dan Admin http://www.bondan riyanto.weebly.com, mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H, Taqqaballahu Mina Waminkum, Syamana wasyamakum, Mohon Maaf Lahir Batin atas segala kekhilafan dan kesalahan yang disengaja maupun tidak di sengaja. Semoga Allah menghapus segala dosa-dosa kita semua, sehingga terlahir kembali Fitri di hari yang Fitri. Amien.
0 Comments
Pada hari-hari ini di berbagai daerah di Indonesia sedang melakukan Pemilukada untuk memilih Pejabat daerahnya masing seperti Gubernur, Walikota dan Bupati. Alangkah indahnya apabila para calon pemimpin daerah di masing-masing wilayahnya memahami apa yang diajarkan Prabu Ramawijaya Raja Pancawati kepada Adiknya Bharata dalam Kisah Pewayangan Seri Ramayana.
Tulisan dibawah ini kami sadurkan dari www.alangalangkumitir.wordpress.com dan insya allah akan sangat berguna bagi pembaca semua apalagi calon memimpin daerahnya. Berdasarkan “Serat Rama” atau Ramayana Kakawin, yang disadur oleh pujangga Yasadipura I dan diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Kamajaya. BARATA BERTAKHTA SEBAGAI RAJA AYODYANEGARA MELAKSANAKAN AMANAT DAN AJARAN SANG BIJAKSANA RAMAWIJAYA “Ketahuilah adinda, bahwa raja yang memimpin negara adalah pemimpin masyarakat dan sekaligus rakyatnya. Raja berkewajiban pula menjaga seluruh dunia. Pedoman sebagai pegangan raja menjalankan kebijaksanaan adalah sebagai berikut: 1. Perhatikan dan ikutilah ajaran-ajaran kesatriaan. Peganglah sebagai pedoman kitab-kitab suci dan ikutilah perintah dalam kitab-kitab agama. Dengan berbuat demikian, niscaya akan datang kebahagiaan kepadamu. 2. Peliharalah rumah-rumah Dewa (agama), yang suci, rumah-rumah sakit dan tanah milik bangunan suci. 3. Peliharalah biara-biara dan perhatikanlah tempat-tempat suci dan rumah pedewaan. Jalan, pasanggrahan, air mancur, telaga, empang, tambak, pasar, jembatan dan segala apapun juga yang dapat membawa kesejahteraan rakyat, itu wajib adinda selenggarakan. 4. Pertanian wajib dikerjakan oleh raja dengan penuh perhatian terus-menerus. Dari pertanian ini datanglah segala macam bahan pangan yang sangat penting untuk negara. 5. Perbesarlah jumlah emas (harta) untuk biaya yang menuju kearah terjaminnya kebahagiaan. Adinda dapat mengeluarkan emas dan harta sesuka hatimu, asal saja untuk kebahagiaan rakyatmu. Ini berarti, bahwa dengan menjalankan darma (amal perbuatan), adinda juga membawa kebahagiaan untuk orang lain agar mengecap kenikmatan bersama. 6. Raja yang dihormati rakyat ialah raja yang tahu suka duka rakyatnya dengan sempurna dan terus menerus, begitu pula usahanya untuk mendengarkan kesusahan yang diderita oleh seluruh rakyat di negaranya. Sebab inilah kewajiban abadi seorang raja. 7. Tolonglah setiap orang diantara rakyatmu yang mengajukan keluh kesahnya dan janganlah diam. Adinda tidak boleh menghina siapapun juga, bahkan terhadap seseorang yang rendah sekalipun. Jangan menghina mereka yang minta pertolongan. 8. Cobalah untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintahan yang baik, wahai adinda. Pertajamlah hatimu dan jadikanlah hal ini sebagian dari kebijaksanaanmu. 9. Susunlah rencanamu untuk waktu yang akan datang guna memelihara dunia dan menjamin berlangsungnya keamanan dan ketertiban. 10. Periksalah angkatan perangmu dan berilah latihan kepada tentaramu dan perhatikantah tentang kemahirannya. Siapa diantara mereka yang memperlihatkan kecakapan yang lebih dari yang lain, ia wajib dinaikkan pangkatnya. Sebaliknya yang memperlihatkan kekurangannya, wajib dilatih lebih mendalam. 11. Latihlah gajah, kereta perang, begitu pula kuda dan siapkanlah itu untuk menyerang. 12. Masukkanlah musuhmu dalam perangkap dan binasakanlah mereka itu dengan tali pemukulmu, sehingga mereka itu binasa seperti air yang mengering. Seranglah musuhmu dengan segala jalan dan segala perhitungan. Janganlah kamu tunda pembasmian orang-orang jahat. 13. Pahlawan yang dikatakan tidak ada bandingannya ialah apabila ia memiliki kekuatan seperti singa yang ditakuti dan apabila ia membunuh musuh dengan tepat. 14. Jauhkanlah dirimu dari orang-orang yang mempunyai perangai jahat, karena mereka itu menimbulkan kerusakan dan menyebabkan negara menjadi mundur. Bila adinda bersama mereka, maka pegawai yang baik menjauhimu, sedangkan teman-temanmu makin jauh dan musuhmulah yang dekat kepadamu. 15. Seorang pegawai itu buruk apabila ia acuh. Dengan demikian ia tak tahu hormat dan melanggar sopan santun. Ia dapat diumpamakan sebagai kambing yang takut dan hormat kepada pohon yang miring, ia dengan gembira memanjatnya dan dengan seenaknya serta tidak ragu-ragu berlari-lari diatas batangnya. Pegawai jahat niscaya akan kelihatan dan jangan menaruh kepercayaan kepadanya. 16. Perhatikanlah gerak-genik mereka yang mengabdi kepadamu sebagai pegawal. Selidikilah tentang kepandaiannya dan kesetiaan mereka terhadap kamu. Apabila ia bertabiat baik dan memiliki sifat-sifat baik, ia harus kamu hargai, sekalipun ia masuk keturunan rendah. Lebih utama apabila kamu terima seorang dan keturunan baik-baik. 17. Perhatikan dan selidikilah sikap segala pegawaimu apakah mereka itu berpengetahuan dan tahu tentang kenegaraan dan pemerintahan, patuh dan berkelakuan baik, apakah tidak bohong dan berbakti serta taat dalam pengabdiannya kepadamu, kepada negara, dan apakah mereka tidak jahat?. Dalam hal ini adinda harus mengetahui apa yang buruk dan apa yang baik. Adinda dapat mencegah mereka dari perbuatan yang menyesatkan. 18. Setiap orang pegawal wajib tahu tentang kepegawaiannya dan ia harus setia kepada pemerintahnya. Begitu pula ia harus tahu tentang pekerjaannya dan tidak segan untuk membuat pekerjaan baik. 19. Janganlah lekas-lekas memberi hadiah kepada pegawai, sebelum adinda menyelidikinya. Apabila adinda memberi sesuatu kepadanya, berikanlah kepadanya lebih dahulu suatu tugas, sehingga mencapai hasil. Jika terbukti, bahwa ia tetap pendiriannya untuk mengabdikan dirinya kepadamu, ini berarti bahwa adinda disegani dan rakyatmu mencintaimu sebagai manikam yang sakti dan membawa kebahagiaan. 20. Apabila adinda tahu sungguh-sungguh yang adinda kerjakan, dapat dikatakan adinda memiliki pepengetahuan yang sempurna seperti Dewa-dewa. Siapa yang tahu tentang kepandaian, ialah yang disebut serba tahu. 21. Bebaskanlah diri dari hawa nafsu dan kedengkian. Jauhkanlah darimu dari kecemburuan dan bersihkanlah dirimu. Dengan jalan itu adinda akan di segani. Ketahuilah, bahwa raja yang memperlihatkan keangkuhan akan kehilangan kewibawaannya karena ditinggalkan oleh wahyunya. 22. Angkara murka wajib diberantas; demikian pula perbuatan tercela haus dibasmi. 23. Kekayaan lahiriah, harta, benda dan pangkat tidak boleh menimbulkan kemabukan lupa daratan. Semua itu boleh mendatangkan kesenangan yang terbatas. 24. Ajaran kitab-kitab Sastra harus dijalankan dengan tidak henti-hentinya. Sekalipun itu sukar dilaksanakan, namun setiap orang harus mentaatinya. Bilamana banyak orang taat dan tahu akan ajaran kitab-kitab suci serta berpegang kepadanya, maka mereka akan melahirkan pedoman kebenaran. 25. Tunjukkanlah keikhlasan hatimu apabila memberi hadiah kepada orang-orang brahmana dan pendeta yang terkemuka. 26. Cobalah selalu tenang dan berbelas kasihan dan janganlah menunjukkan ketakutan kepada apa dan siapa yang adinda takuti. 27. Jangan berdusta, sebab dusta menyebabkan kejahatan. Dengan demikian adinda akan menghadapi malapetaka dan akan dicela. 28. Apabila adinda mencela seseorang, kerjakan sendiri yang tepat dan janganlah adinda terlalu dikuasai oleh hawa nafsu. Sabda raja harus sesuai dengan perbuatannya. Perjudian dan perbuatan hina jangan adinda kerjakan. 29. Basmilah kemabukan pikiran yang angkuh; hilangkanlah itu dari hatimu, sebab keangkuhan itu mencemarkan dan menyuramkan penglihatan. 30. Kesaktian dan kepandaian menyebabkan kebahagiaan dan kenikmatan. Untuk memiliki kedua hal itu bukanlah ringan. Orang-orang baik yang berpengetahuan dan faham tentang kitab-kitab ini patut adinda hargai. Apabila adinda memiliki beberapa macam kepandaian, pastilah rakyat mencintaimu. Jauhilah perbuatan mengadu domba dan pujian yang menyesatkan. 31. Apabila sesuatu kejahatan telah jelas bentuknya, bertindaklah apabila perbuatan itu memang salah, Binasakanlah orang yang berdosa. Akan tetapi selidikilah hal ini dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya apabila ia berjasa, berikan kepadanya hadiah dan kepuasan. Inilah hak raja untuk memberi anugerah atau memberi hukuman. 32. Ada lima macam bahaya yang sungguh mengancam ialah: 1. Apabila ada pegawai yang dalam menunaikan tugas di daerah menderita karena terik matahari. 2. Adanya sejumlah banyak pencuri; 3. Apabila kekacauan dan kejahatan merajalela; 4. Adanya orang-orang yang menjadi dan dijadikan “anak emas” pembesar. Kejadian seperti itu dapat dianggap sebagai kejahatan; dan 5. Keangkara-murkaan raja. Lima macam bahaya itu harus dibasmi atau dicegah sebelum timbul dan merajalela 33. Ketahuilah adinda Barata, bahwa raja dapat diumpamakan batara Surya yang memanasi dunia oleh sifatnya. Demikianlah halnya dengan seorang raja yang membinasakan orang jahat. Bulan memberikan rasa cinta dan disegani oleh seluruh dunia Begitulah juga hendaknya perbuatan raja dalam memperhatikan dan memelihara rakyatnya. 34. Sebagai raja adinda dapat disamakan dengan sebuah bukit, sedangkan rakyatmu diumpamakan pohon- pohonan yang tumbuh di lerengnya. Pohon-pohon itu hidup dan dijamin hidupnya oleh bukit. 35. Adindaku Barata yang tercinta, itulah sesama kewajiban adinda sebagai raja yang berusaha menjaga keselamatan dunia yang bahagia. Adinda wajib mempertinggi perhatian kepada orang lain dan menaruh belas kasihan kepada rakyatmu, dan seluruh kesukaran duniapun harus adinda perhatikan. Demikianlah nasihat wejangan sang bijaksana Ramabadra kepada adinda Barata yang direstuinya duduk di atas takhta Ayodyanegara sebagai raja memimpin tampuk pemerintahan, memimpin masyarakat dan rakyatnya. Setelah bersembah sujud dengan khidmat kepada Rama dan Sinta, dan setelah satria Laksmana menyembah Barata, maka dengan ijin dan restu serta puji jaya-jaya dan kakandanya sang Ramawijaya, Barata dengan segenap pengiringnya turun dan bukit Citrakuta, kemudian berangkatlah meninggalkan hutan menuju ke ibukota Ayodya. Kewajiban sebagai raja telah menantinya. Dengan merayakan “terompah sang Rama” dan menerapkan ajaran sang bijaksana, maka aman sentosa sejahteralah Ayodyanegara dibawah pemerintahan raja Barata. Betapa indahnya jika calon pemimpin nasional dan daerah di nergeri tercinta ini memahami ajaran Hasta Brata dari Sri Ramawijaya, maka kesejahteraan masyarakat adil dan makmur akan segera terwujud. Tidak hanya sebatas wacana, teori yang miskin praktek. Banyak yang belum mengerti, mengapa Mahatma Bhisma bersedia mem-babar rahasia kelemahan dirinya, sehingga ia tewas di tangan Dewi Wara SriKandhi. Andai dia tidak buka kartu, jalan cerita akan berbeda. Bisa-bisa Hastina – Kurawa yang keluar sebagai pemenang Bharatayudha, karena tidak satu pun ksatria Pandhawa bisa mengalahkan Bhisma, Sang Mahasenapati Hastina. Kocap Kacarita. Semasa muda , jejaka tumaruna, Sang Bambang Dewabrata adalah pewaris syah tahta Hastina pura. Dia putra tunggal Prabu Sentanu Dewa, raja yang berkuasa saat itu. Sang prabu hidup menduda sejak Dewi Gangga kembali ke kahyangan setelah melahirkan Dewabrata (Bhisma Muda). Pada acara berburu di hutan, Sentanu bertemu Dewi Durgandini alias Setyawati. Sentanu terpikat oleh kecantikannya, dan langsung meminang sang dewi. Durgandini bersedia jadi permaisuri dengan syarat kelak anak keturunannya jadi Raja Hastina. Syarat ini amat berat bagi Sentanu. Sebab dia sudah punya putra Mahkota yakni sang Dewa brata (Bhisma). Terombang-ambing antara perasaan cinta kepada Durgandini dan Bhisma, sentanu jatuh sakit. Kondisi raja dari hari ke hari terus memburuk. Bhisma memberanikan diri, bertanya apa apa gerangan yang dirasa sang ayah. Prabu Sentanu akhirnya menceritakan apa yang terjadi. Mendengar itu , tanpa ragu Bhisma meminta kepada ayahnya untuk segera menikahi Durgandini. “Jangan tunda lagi menikahlah dengannya, Agar tidak menjadi masalah di kemudian hari saya bersumpah tidak menikah agat tidak memiliki keturunan. Aku rela asalkan ayahanda sehat kembali seperti sedia kala’ ujar si Bhisma. Solusi dalam bentuk sumpah wadat Bhisma Dewabrata ini mengguncangkan kahyangan. Para Dewa tidak percaya ada manusia begitu luhur budinya. Tahta di depan mata dilepaskan demi bakti kepada orang tuanya. Lebih-lebih ia tidak hanya bicara. Ia pergi menjemput dewi durgandini di tepi Sungai Yamuna dan membawanya ke Hastina dengan kereta kencana. Pengorbanan Bhisma tidak hanya sampai disitu. Dengan penuh kesabaran ia mengasuh, membimbing dan menjadi pendamping adik tirinya. Bhisma menyiapkannya kelak bisa menjadi raja yang bijaksana memimpin Hastinapura. Bahkan, ketika sang raja muda sudah waktunya menyunting permasuri, Bhisma pula yang sibuk mencarikan seorang putri untuknya. RESOLUSI KONFLIK Kebetulan saat itu raja Giantipura ya Negara Kasi mengadakan lomba “ sayembara pilih tandhing”. Barangsiapa bisa mengalahkan dua anak raja, Wahmuka dan Harimuka, ia berhak memboyong tiga putri raja yaitu dewi Amba, Dewi Ambika dan Dewi Rambalika/Ambalika. Dari sekian banyak pangeran dan raja yang bertarung, hanya Bhisma yang mampu mengalahkan wahmuka dan Harimuka. Bhisma menjadi the real winner. Dan berhak memboyong tiga putri raja tersebut. Ambalika dan Ambika menjadi permaisuri raja Hastina adik tiri dari Bhisma. Sementara Dewi Amba menolak karena hatinya tertambat pada Bhisma. Bukankah Bhisma pemenang sayembara, sehingga dialah yang mestinya menyunting ketiganya? Namun, isyarat cinta yang dikirimkan Amba ditolak dengan halus oleh Bhisma. Sebagai lelaki, hatinya juga merasakan getar asmara, tetapi sebagai ksatria, pantang baginya menlanggar sumpah wadat. Penolakan itu justru membuat Amba makin kagum dan tergila-gila kepada Bhisma, mulai dari isyarat tubuh hingga ungkapan blaka suta, to the point. Sampai akhirnya, ketika Bhisma merasa sudah kehabisan cara untuk menolak, ia mencabut panah dan mengarahkan kepada Amba untuk menakut-nakuti supaya sang dewi tidak mencintainya. Tak disangka, noyah-nayuh baskara titi mangsa wus dadi kodrating jagad, panah yang semula hanya untuk menakut-nakuti, benar-benar terlepas dari busur dan menghujam tubuh Amba. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, dalam pelukan Bhisma ia berkata ‘ Wahai ksatria, aku tidak marah dan tidak membencinmu karena kematian murud kasedan jati ini. Aku sungguh mencintaimu. Memang kita tidak bersatu di dunia,lanjutnya, tetapi kelak kita akan bersatu di swarga loka. Ingatlah, engkau akan mati ditangan titisanku, seorang ksatria berujud wanita. Kelak ketika terjadi, aku akan menjemput jiwamu dan kita bersatu dalam keabadian kaswaragan jati. Bhisma menangis, tetapi ia mengamini supata (kutukan) Dewi Amba itu. Para dewa pun menambahkan supata ini dalam suratan Bhisma. Maka pada hari ketika Srikhandi tampil ke medan Bharatayudha, Bhisma menyambutnya penuh gairah. Tak sabar ia menantikan panah perempuan ksatria itu menembus raganya. Bhisma tersenyum menikmati satu demi satu anak-anak panah itu menghujam seantero tubuhnya. Baginya, itulah resolusi atas konflik batin yang sekian lama mendera dirinya. Inilah jalaran yang akan membawa dirinya bersatu dengan Amba. Namun mengenai supata Dewi Amba bukanlah satu-satunya motivasi Bhisma untuk mati hari itu. Kematiannya memang tidak serta merta mengakhiri perang, tetapi menjadi resolusi konflik yang efektif untuk tegaknya kebenaran dan keadilan. Dia (Bhisma) bisa saja memrintahkan wadya bala Kurawa untuk menghabisi Srikhandhi, tetapi ia tidak melakukan itu, karena ia menempa diri untuk selalu menjadi resolusi konflik, bukan bagian dari konflik itu sendiri. Negeri kita Indonesia ini tidak henti-hentinya dilanda konflik elite. Gonjang-ganjing Bank Century belum lagi srina, kita sudah disuguhi perang bintang di mabes polsri. Ada pula gesekan antara petinggi BPK dan Kementrian Keuangan. Dengan dalih menjalankan tugas negara, semua merasa paling benar. Konflik adalah bagian integral kehidupan. Manusia yang arif tidak akan lari dari konflik, karena yakin setiap konflik ada resolusinya. Iutlah keadilan Tuhan. Sebaliknya, manusia yang alpha akan menjadikan konflik sebagai ajang untuk kekuatan dan kekuasaan, sehingga yang ada hanya kalah dan menang. Runyamnya, seperti itulah wajah konflik elite kita. Saling intrik, saling sikut, saling menjatuhkan. Sampyuh, zerro sum game. Dengan wewayang (berkaca) kepada Bhisma, kita tahu jawabannya: bahwa para elite kita baru jago sebagai part of problem, bukan part of solution. Jika begitu ceritanya, Ki Dalang kan khawatir bangsa ini akan tertimpa supata, sehingga semakin tertinggal jauh dari bangsa lainnya di dunia. Disadur dan dicuplik dari Edisi Minggu Bisnis Indonesia tgl 09 Mei 2010 ditulis oleh Ki Dalang Rohmad Hadiwijoyo ( Dalang & CEO RMI Group). HARYO PATIH SANGKUNI, SANG PENEBAR FITNAH & INTRIK JAHAT SEHINGGA DURYUDANA & KURAWA TETAP MENGUASAI & MEMPERTAHANKAN NEGARA ASTINA Sangkuni, atau yang dalam ejaan Sanskerta disebut Shakuni (: शकुनि ; śakuni) adalah seorang tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan paman para Korawa dari pihak ibu. Sangkuni terkenal sebagai tokoh licik yang selalu menghasut para Korawa agar memusuhi Pandawa. Antara lain, ia berhasil merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui sebuah permainan dadu. Dalam pewayangan Jawa, Sangkuni sering dieja dengan nama Sengkuni. ketika para Korawa berkuasa di Kerajaan Hastina, ia diangkat sebagai patih. Dalam pewayangan Sunda, ia juga dikenal dengan nama Sangkuning. Asal-Usul Sangkuni dalam Versi Mahabharata Menurut versi Mahabharata, Sangkuni berasal dari Kerajaan Gandhara. Ayahnya bernama Suwala. Pada suatu hari adik perempuannya yang bernama Gandari dilamar untuk dijadikan sebagai istri Dretarastra, seorang pangeran dari Hastinapura yang menderita tunanetra. Sangkuni marah atas keputusan ayahnya yang menerima lamaran tersebut. Menurutnya, Gandari seharusnya menjadi istri Pandu, adik Dretarastra. Namun karena semuanya sudah terjadi, ia pun mengikuti Gandari yang selanjutnya menetap di istana Hastinapura. Gandari memutuskan untuk selalu menutup kedua matanya menggunakan selembar kain karena ia sangat setia kepada suaminya yang buta. Dari perkawinan mereka lahir seratus orang Korawa, yang sejak kecil diasuh oleh Sangkuni. Di bawah asuhan Sangkuni, para Korawa tumbuh menjadi anak-anak yang selalu diliputi rasa kebencian terhadap para Pandawa, yaitu putra-putra Pandu. Setiap hari Sangkuni selalu mengobarkan rasa permusuhan di hati para Korawa, terutama yang tertua, yaitu Duryodana. Konon Sangkuni merupakan reinkarnasi dari Dwapara, yaitu seorang dewa yang bertugas menciptakan kekacauan di muka bumi. Asal-Usul Sangkuni Versi Pewayangan Dalam pewayangan, terutama di Jawa, Sengkuni bukan kakak dari Dewi Gendari, melainkan adiknya. Sementara itu Gandara versi pewayangan bukan nama sebuah kerajaan, melainkan nama kakak tertua mereka. Sengkuni sendiri dikisahkan memiliki nama asli Harya Suman. Pada mulanya raja Kerajaan Plasajenar bernama Suwala. Setelah meninggal, ia digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Gandara. Pada suatu hari Gandara ditemani kedua adiknya, yaitu Gendari dan Suman, berangkat menuju Kerajaan Mandura untuk mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Kunti, putri negeri tersebut. Di tengah jalan, rombongan Gandara berpapasan dengan Pandu yang sedang dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Hastina setelah memenangkan sayembara Kunti. Pertempuran pun terjadi. Gandara akhirnya tewas di tangan Pandu. Pandu kemudian membawa serta Gendari dan Suman menuju Hastina. Sesampainya di Hastina, Gendari diminta oleh kakak Pandu yang bernama Drestarastra untuk dijadikan istri. Gendari sangat marah karena ia sebenarnya ingin menjadi istri Pandu. Suman pun berjanji akan selalu membantu kakaknya itu melampiaskan sakit hatinya. Ia bertekad akan menciptakan permusuhan di antara para Kurawa, anak-anak Drestarastra, melawan para Pandawa, anak-anak Pandu. Asal-Usul Nama Sangkuni Menurut versi pewayangan Jawa, pada mulanya Harya Suman berwajah tampan. Ia mulai menggunakan nama Sengkuni semenjak wujudnya berubah menjadi buruk akibat dihajar oleh Patih Gandamana. Gandamana adalah pangeran dari Kerajaan Pancala yang memilih mengabdi sebagai patih di Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Pandu. Suman yang sangat berambisi merebut jabatan patih menggunakan cara-cara licik untuk menyingkirkan Gandamana. Pada suatu hari Suman berhasil mengadu domba antara Pandu dengan muridnya yang berwujud raja raksasa bernama Prabu Tremboko. Maka terciptalah ketegangan di antara Kerajaan Hastina dan Kerajaan Pringgadani. Pandu pun mengirim Gandamana sebagai duta perdamaian. Di tengah jalan, Suman menjebak Gandamana sehingga jatuh ke dalam perangkapnya. Suman kemudian kembali ke Hastina untuk melapor kepada Pandu bahwa Gandamana telah berkhianat dan memihak musuh. Pandu yang saat itu sedang labil segera memutuskan untuk mengangkat Suman sebagai patih baru. Tiba-tiba Gandamana yang ternyata masih hidup muncul dan menyeret Suman. Suman pun dihajar habis-habisan sehingga wujudnya yang tampan berubah menjadi jelek. Sejak saat itu, Suman pun terkenal dengan sebutan Sengkuni, berasal dari kata saka dan uni, yang bermakna "dari ucapan". Artinya, ia menderita cacad buruk rupa adalah karena hasil ucapannya sendiri. Peristiwa Perebutan Minyak Tala Versi pewayangan selanjutnya mengisahkan, setelah Pandu meninggal dunia, pusakanya yang bernama Minyak Tala dititipkan kepada Drestarastra supaya kelak diserahkan kepada para Pandawa jika kelak mereka dewasa. Minyak Tala sendiri merupakan pusaka pemberian dewata sebagai hadiah karena Pandu pernah menumpas musuh kahyangan bernama Nagapaya. Beberapa tahun kemudian, terjadi perebutan antara para Pandawa melawan para Kurawa yang ternyata juga menginginkan Minyak Tala. Dretarastra memutuskan untuk melemparkan minyak tersebut beserta wadahnya yang berupa cupu sejauh-jauhnya. Pandawa dan Kurawa segera berpencar untuk bersiap menangkapnya. Namun, Sengkuni dengan licik lebih dahulu menyenggol tangan Drestarastra ketika hendak melemparkan benda tersebut. Akibatnya, sebagian Minyak Tala pun tumpah. Sengkuni segera membuka semua pakaiannya dan bergulingan di lantai untuk membasahi seluruh kulitnya dengan minyak tersebut. Sementara itu, cupu beserta sisa Minyak Tala jatuh tercebur ke dalam sebuah sumur tua. Para Pandawa dan Kurawa tidak mampu mengambilnya. Tiba-tiba muncul seorang pendeta dekil bernama Durna yang berhasil mengambil cupu tersebut dengan mudah. Tertarik melihat kesaktiannya, para Kurawa dan Pandawa pun berguru kepada pendeta tersebut. Sengkuni yang telah bermandikan Minyak Tala sejak saat itu mendapati seluruh kulitnya kebal terhadap segala jenis senjata. Meskipun ilmu bela dirinya rendah, namun tidak ada satu pun senjata yang mampu menembus kulitnya. Usaha-Usaha Licik dan Intrik Jahat Sangkuni dan Kurawa untuk Menyingkirkan Pandawa Baik dalam versi Mahabharata maupun versi pewayanagan, Sengkuni merupakan penasihat utama Duryudana, pemimpin para Kurawa. Berbagai jenis tipu muslihat dan kelicikan ia jalankan demi menyingkirkan para Pandawa. Dalam Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa, Sangkuni menciptakan kebakaran di Gedung Jatugreha, tempat para Pandawa bermalam di dekat Hutan Waranawata. Namun para Pandawa dan ibu mereka, yaitu Kunti berhasil meloloskan diri dari kematian. Dalam pewayangan, peristiwa ini terkenal dengan nama Bale Sigala-Gala. Usaha Sengkuni yang paling sukses adalah merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui permainan dadu melawan pihak Kurawa. Kisah ini terdapat dalam Mahabharata bagian kedua, atau Sabhaparwa. Peristiwa tersebut disebabkan oleh rasa iri hati Duryudana atas keberhasilan para Pandawa membangun Indraprastha yang jauh lebih indah daripada Hastinapura. Atas saran Sengkuni, ia pun mengundang para Pandawa untuk bermain dadu di Hastinapura. Dalam permainan itu Sengkuni bertindak sebagai pelempar dadu Kurawa. Dengan menggunakan ilmu sihirnya, ia berhasil mengalahkan para Pandawa. Sedikit demi sedikit harta benda, istana Indraprastha, bahkan kemerdekaan para Pandawa dan istri mereka, Dewi Drupadi jatuh ke tangan Duryudana. Mendengar Drupadi dipermalukan di depan umum, Dewi Gendari ibu para Kurawa muncul membatalkan semuanya. Para Pandawa pun pulang dan mendapatkan kemerdekaan mereka kembali. Karena kecewa, Duryudana mendesak ayahnya, Drestarastra, supaya mengizinkannya untuk menantang Pandawa sekali lagi. Drestarastra yang lemah tidak kuasa menolak keinginan anak yang sangat dimanjakannya itu. Maka, permainan dadu yang kedua pun terjadi kembali. Untuk kedua kalinya, pihak Pandawa kalah di tangan Sengkuni. Sebagai hukuman, mereka harus menjalani hidup selama 12 tahun di dalam hutan, dan dilanjutkan dengan menyamar selama setahun di suatu negeri. Jika penyamaran mereka sampai terbongkar, mereka harus mengulangi kembali selama 12 tahun hidup di dalam hutan dan begitulah seterusnya. Kematian Sangkuni di Kurukshetra oleh Bima versi Jawa. Setelah masa hukuman selama 13 tahun berakhir, para Pandawa kembali untuk mengambil kembali negeri mereka dari tangan Kurawa. Namun pihak Kurawa menolak mengembalikan Kerajaan Indraprastha dengan alasan penyamaran para Pandawa di Kerajaan Wirata telah terbongkar. Berbagai usaha damai diperjuangkan pihak Pandawa namun semuanya mengalami kegagalan. Perang pun menjadi pilihan selanjutnya. Pertempuran besar di Kurukshetra antara pihak Pandawa melawan Kurawa dengan sekutu masing-masing akhirnya meletus. Perang yang juga terkenal dengan sebutan Baratayuda ini berlangsung selama 18 hari, di mana Sengkuni tewas pada hari terakhir. Menurut versi Mahabharata bagian kedelapan atau Salyaparwa, Sengkuni tewas di tangan Sadewa, yaitu Pandawa nomor lima. Pertempuran habis-habisan antara keduanya terjadi pada hari ke-18. Sengkuni mengerahkan ilmu sihirnya sehingga tercipta banjir besar yang menyapu daratan Kurukshetra, tempat perang berlangsung. Dengan penuh perjuangan, Sadewa akhirnya berhasil memenggal kepala Sengkuni. Riwayat tokoh licik itu pun berakhir. Kisah versi asli di atas sedikit berbeda dengan Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada zaman Kerajaan Kadiri tahun 1157. Menurut naskah berbahasa Jawa Kuna ini, Sengkuni bukan mati di tangan Seadewa, melainkan di tangan Bima, Pandawa nomor dua. Sengkuni dikisahkan mati remuk oleh pukulan gada Bima. Tidak hanya itu, Bima kemudian memotong-motong tubuh Sengkuni menjadi beberapa bagian. Kisah tersebut dikembangkan lagi dalam pewayangan Jawa. Pada hari terakhir Baratayuda, Sengkuni bertempur melawan Bima. Kulitnya yang kebal karena pengaruh Minyak Tala bahkan sempat membuat Bima menjadi pusing karena tidak bisa mengalahkan Sengkuni. Penasihat Pandawa selain Kresna, yaitu Semar muncul memberi tahu Bima bahwa kelemahan Sengkuni berada di bagian dubur, karena bagian tersebut dulunya pasti tidak terkena pengaruh Minyak Tala. Bima pun maju kembali. Sengkuni ditangkap dan disobek duburnya menggunakan Kuku Pancanaka yang tumbuh di ujung jari Bima. Ilmu kebal Sengkuni pun musnah. Dengan beringas, Bima menyobek dan menguliti Sengkuni tanpa ampun. Meskipun demikian, Sengkuni hanya sekarat tetapi tidak mati. Pada sore harinya Bima berhasil mengalahkan Duryudana, raja para Kurawa. Dalam keadaan sekarat, Duryudana menyatakan bahwa dirinya bersedia mati jika ditemani pasangan hidupnya, yaitu istrinya yang bernama Dewi Banowati. Atas nasihat Kresna, Bima pun mengambil Sengkuni yang masih sekarat untuk diserahkan kepada Duryudana. Duryudana yang sudah kehilangan penglihatannya akibat luka parah segera menggigit leher Sangkuni yang dikiranya Banowati. Akibat gigitan itu, Sengkuni pun tewas seketika, begitu pula dengan Duryudana. Ini membuktikan bahwa pasangan sejati Duryudana sesungguhnya bukan istrinya, melainkan pamannya yaitu Sengkuni yang senantiasa berjuang dengan berbagai cara untuk membahagiakan para Korawa. RINGKASAN SABHAPARWA, BUKU YG MEMUAT INTRIK-INTRIK JAHAT SANGKUNI DAN KURAWA DALAM RANGKA MEMBINASAKAN PANDHAWA LIMA. Sabhaparwa adalah buku kedua Mahabharata. Buku ini menceritakan alasan mengapa sang Pandawa Lima ketika diasingkan dan harus masuk ke hutan serta tinggal di sana selama 12 tahun dan menyamar selama 1 tahun. Di dalam buku ini diceritakan bagaimana mereka berjudi dan kalah dari Duryodana. Ringkasan isi Kitab Sabhaparwa I. Niat licik Duryodana dan Sangkuni Semenjak pulang dari Indraprastha, Duryodana sering termenung memikirkan usaha untuk mendapatkan kemegahan dan kemewahan yang ada di Indraprastha. Ia ingin sekali mendapatkan harta dan istana milik Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara mendapatkannya. Terlintas dalam benak Duryodana untuk menggempur Pandawa, namun dicegah oleh Sangkuni. Sangkuni berkata, "Aku tahu Yudistira suka bermain dadu, namun ia tidak tahu cara bermain dadu dengan akal-akalan. Sementara aku adalah rajanya main dadu dengan akal-akalan. Untuk itu, undanglah dia, ajaklah main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu atas nama anda. Dengan kelicikanku, tentu dia akan kalah bermain dadu denganku. Dengan demikian, anda akan dapat memiliki apa yang anda impikan". Duryodana tersenyum lega mendengar saran pamannya. Bersama Sangkuni, mereka mengajukan niat tersebut kepada Dretarastra untuk mengundang Pandawa main dadu. Duryodana juga menceritakan sikapnya yang iri dengan kemewahan Pandawa. Dretarastra ingin mempertimbangkan niat puteranya tersebut kepada Widura, namun karena mendapat hasutan dari Duryodana dan Sangkuni, maka Dretarastra menyetujuinya tanpa pertimbangan Widura. II. Pandawa dan Korawa main dadu Dropadi dihina di muka umum saat Pandawa dan kalah main dadu dengan Korawa Dretarastra menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai ia mengutus Widura untuk mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura. Yudistira sebagai kakak para Pandawa, menyanggupi undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri dan pengawal, Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura, rombongan mereka disambut dengan ramah oleh Duryodana. Mereka beristirahat di sana selama satu hari, kemudian menuju ke arena perjudian. Yudistira berkata, "Kakanda Prabu, berjudi sebetulanya tidak baik. Bahkan menurut para orang bijak, berjudi sebaiknya dihindari karena sering terjadi tipu-menipu sesama lawan". Setelah mendengar perkataan Yudistira, Sangkuni menjawab, "Ma'af paduka Prabu. Saya kira jika anda berjudi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab kalian masih bersaudara. Apabila paduka yang menang, maka kekayaan Duryodana tidaklah hilang sia-sia. Begitu pula jika Duryodana menang, maka kekayaan paduka tidaklah hilang sia-sia karena masih berada di tangan saudara. Untuk itu, apa jeleknya jika rencana ini kita jalankan?" Yudistira yang senang main dadu akhirnya terkena rayuan Sangkuni. Maka permainan dadu pun dimulai. Yudistira heran kepada Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni, sebab dalam berjudi tidak lazim kalau diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam, sekali lagi merayu Yudistira. Yudistira pun termakan rayuan Sangkuni. Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan harta lagi, namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai sebagai taruhan. Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan prajuritnya, namun lagi-lagi ia gagal. Kemudian ia mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi sehingga kerajaannya lenyap ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget, namun ia juga sebenarnya senang. Berturut-turut Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima dipertaruhkan, namun mereka semua akhirnya menjadi milik Duryodana karena Yudistira kalah main dadu. III. Dropadi dihina di muka umum Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna Harta, istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik Duryodana. Yudistira yang tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia kalah sehingga dirinya harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan rayuan Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi Dropadi. Banyak yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira, namun mereka semua membisu karena hak ada pada Yudistira. Duryodana mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak tindakan Duryodana yang licik tersebut. karena Widura menolak, Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat peristirahatan Dropadi, Dropadi menolak untuk datang ke arena judi. Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dropadi menangis dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul. Dengan menangis terisak-isak, Dropadi berkata, "Sungguh saya tidak mengira kalau di Hastina kini telah kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak orang, tidak ada seorang pun yang melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah, memang semua orang di Hastina kini telah seperti Dursasana?", ujar Dropadi kepada semua orang yang hadir di balairung. Para orangtua yang mendengar perkataan Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena tersinggung dan malu. Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada Dropadi, berkata, "Tuan-Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak ada yang menanggapi peristiwa ini, maka perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama, saya tahu bahwa Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu muslihat paman Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia telah kehilangan kebebasannya. Maka dari itu, taruhan Sang Prabu yang berupa Dewi Dropadi tidak sah!" Para hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna tidak setuju dengan Wikarna. Karna berkata, "Hei Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di ruangan ini banyak orang-orang yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak lebih bodoh daripada kau! Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau berani memberi pelajaran kepada beliau semua? Lagipula, mungkin memang nasib Dropadi seperti ini karena kutukan Dewa. cobalah bayangkan, pernahkah kau melihat wanita bersuami sampai lima orang?" Mendengar perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun hanya Dropadi yang menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi. Dropadi berdo'a kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna mendengar do'a Dropadi. Secepatnya ia menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna mengulur kain yang dikenakan Dropadi, sementara Dursasana yang tidak mengetahuinya menarik kain yang dikenakan Dropadi. Hal tersebut menyebabkan usaha Dursasana menelanjangi Dropadi tidak berhasil. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha. [sunting] Pandawa dibuang ke tengah hutan Melihat perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah kelak dalam Bharatayuddha ia akan merobek dada Dursasana dan meminum darahnya. Setelah bersumpah, terdengarlah lolongan anjing dan serigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi. Dretarastra mengetahui firasat buruk yang akan menimpa keturunannya, maka ia segera mengambil kebijaksanaan. Ia memanggil Pandawa beserta Dropadi. Dretarastra berkata, "O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu, segala sesuatu yang menjadi milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu. Ma’afkanlah saudara-saudaramu yang telah berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha". Setelah mendapat pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri. Duryodana kecewa, ia menyalahkan perbuatan ayahnya yang mengembalikan harta Yudistira. Dengan berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Karena Dretarastra berhati lemah, maka dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan rencana jahat anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke istana untuk bermain dadu. Kali ini, taruhannya adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, dan setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus menyamar selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana. Sebagai kaum ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang kedua kalinya tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka Pandawa beserta istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa pembuangan selama 12 tahun. Setelah itu menyamar selama satu tahun. Setelah masa penyamaran, maka para Pandawa kembali lagi ke istana untuk memperoleh kerajaannya. Sabhaparwa di Indonesia Kitab Sabhaparwa juga dikenal dalam khazanah Sastra Jawa Kuna. Dicuplik dari http://id.wikipedia.org This is your new blog post. Click here and start typing, or drag in elements from the top bar. Rahasia Serat Sastrajendra Hayuningrat Pangruwa Ting Diyu. Dalam lakon wayang Purwa, kisah Ramayana bagian awal diceritakan asal muasal keberadaan Dasamuka atau Rahwana tokoh raksasa yang dikenal angkara murka, berwatak candala dan gemar menumpahkan darah. Dasamuka lahir dari ayah seorang Begawan sepuh sakti linuwih gentur tapanya serta luas pengetahuannya yang bernama Wisrawa dan ibu Dewi Sukesi yang berparas jelita tiada bandingannya dan cerdas haus ilmu kesejatian hidup. Bagaimana mungkin dua manusia sempurna melahirkan raksasa buruk rupa dan angkara murka ? Bagaimana mungkin kelahiran “ sang angkara murka “ justru berangkat dari niat tulus mempelajari ilmu kebajikan yang disebut Serat Sastrajendra. Ilmu untuk Meraih Sifat Luhur Manusia. Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan. Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat. Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan. Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi “ khalifah “ (wakil Tuhan di dunia). Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu. Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum “ madeg pandita “ ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata. Sifat Manusia Terpilih. Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “ Bethara guru menjawab “ Pilihanku adalah anak kita Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya “ Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua” Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “. Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah“. Serentak para dewata menunduk malu “ Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui” Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa. “ Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia” Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “. Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan. Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya. Nun jauh, negeri Ngalengka yang separuh rakyatnya terdiri manusia dan separuh lainnya berwujud raksasa. Negeri ini dipimpin Prabu Sumali yang berwujud raksasa dibantu iparnya seorang raksasa yang bernama Jambumangli. Sang Prabu yang beranjak sepuh, bermuram durja karena belum mendapatkan calon pendamping bagi anaknya, Dewi Sukesi. Sang Dewi hanya mau menikah dengan orang yang mampu menguraikan teka teki kehidupan yang diajukan kepada siapa saja yang mau melamarnya. Sebelumnya harus mampu mengalahkan pamannya yaitu Jambumangli. Beribu ribu raja, wiku dan satria menuju Ngalengka untuk mengadu nasib melamar sang jelita namun mereka pulang tanpa hasil. Tidak satupun mampu menjawab pertanyaan sang dewi. Berita inipun sampailah ke negeri Lokapala, sang Prabu Danaraja sedang masgul hatinya karena hingga kini belum menemukan pendamping hati. Hingga akhirnya sang Ayahanda, Begawan Wisrawa berkenan menjadi jago untuk memenuhi tantangan puteri Ngalengka. Pertemuan Dua Anak Manusia. Berangkatlah Begawan Wisrawa ke Ngalengka, hingga kemudian bertemu dengan dewi Suksesi. Senapati Jambumangli bukan lawan sebanding Begawan Wisrawa, dalam beberapa waktu raksasa yang menjadi jago Ngalengka dapat dikalahkan. Tapi hal ini tidak berarti kemenanmgan berada di tangan. Kemudian tibalah sang Begawan harus menjawab pertanyaan sang Dewi. Dengan mudah sang Begawan menjawab pertanyaan demi pertanyaan hingga akhirnya, sampailah sang dewi menanyakan rahasia Serat Sastrajendra. Sang Begawan pada mulanya tidak bersedia karena ilmu ini harus dengan laku tanpa “ perbuatan “ sia sialah pemahaman yang ada. Namun sang Dewi tetap bersikeras untuk mempelajari ilmu tersebut, toh nantinya akan menjadi menantunya. Luluh hati sang Begawan, beliau mensyaratkan bahwa ilmu ini harus dijiwai dengan niat luhur. Keduanya kemudian menjadi guru dan murid, antara yangf mengajar dan yang diajar. Hari demi hari berlalu keduanya saling berinteraksi memahamkan hakikat ilmu. Sementara di kayangan, para dewata melihat peristiwa di mayapada. “ Hee, para dewata, bukankah Wisrawa sudah pernah diberitahu untuk tidak mengajarkan ilmu tersebut pada sembarang orang “. Para dewata melaporkan hal tersebut kepada sang Betara Guru. “ Bila apa yang dilakukan Wisrawa, bisa nanti kayangan akan terbalik, manusia akan menguasai kita, karena telah sempurna ilmunya, sedangkan kita belum sempat dan mampu mempelajarinya “. Sang Betara Guru merenungkan kebenaran peringatan para dewata tersebut. “ tidak cukup untuk mempelajari ilmu tanpa laku, Serat Sastrajendra dipagari sifat sifat kemanusiaan, kalau mampu mengatasi sifat sifat kemanusiaan baru dapat mencapai derajat para dewa. “ Tidak lama sang Betara menitahkan untuk memanggil Dewi Uma.untuk bersama menguji ketangguhan sang Begawan dan muridnya. Hingga sesuatu ketika, sang Dewi merasakan bahwa pria yang dihadapannya adalah calon pendamping yang ditunggu tunggu. Biar beda usia namun cinta telah merasuk dalam jiwa sang Dewi hingga kemudian terjadi peristiwa yang biasa terjadi layaknya pertemuan pria dengan wanita. Keduanya bersatu dalam lautan asmara dimabukkan rasa sejiwa melupakan hakikat ilmu, guru, murid dan adab susila. Hamillah sang Dewi dari hasil perbuatan asmara dengan sang Begawan. Mengetahui Dewi Sukesi hamil, murkalah sang Prabu Sumali namun tiada daya. Takdir telah terjadi, tidak dapat dirubah maka jadilah sang Prabu menerima menantu yang tidak jauh berbeda usianya. Tergelincir Dalam Kesesatan. Musibah pertama, terjadi ketika sang senapati Jambumangli yang malu akan kejadian tersebut mengamuk menantang sang Begawan. Raksasa jambumangli tidak rela tahta Ngalengka harus diteruskan oleh keturunan sang Begawan dengan cara yang nista. Bukan raksasa dimuliakan atau diruwat menjadi manusia. Namun Senapati Jambumangli bukan tandingan, akhirnya tewas ditangan Wisrawa. Sebelum meninggal, sang senapati sempat berujar bahwa besok anaknya akan ada yang mengalami nasib sepertinya ditewaskan seorang kesatria. Musibah kedua, Prabu Danaraja menggelar pasukan ke Ngalengka untuk menghukum perbuatan nista ayahnya. Perang besar terjadi, empat puluh hari empat puluh malam berlangsung sebelum keduanya berhadapan. Keduanya berurai air mata, harus bertarung menegakkan harga diri masing masing. Namun kemudian Betara Narada turun melerai dan menasehati sang Danaraja. Kelak Danaraja yang tidak dapat menahan diri, harus menerima akibatnya ketika Dasamuka saudara tirinya menyerang Lokapala. Musibah ketiga, sang Dewi Sukesi melahirkan darah segunung keluar dari rahimnya kemudian dinamakan Rahwana (darah segunung). Menyertai kelahiran pertama maka keluarlah wujud kuku yang menjadi raksasi yang dikenal dengan nama Sarpakenaka. Sarpakenaka adalah lambang wanita yang tidak puas dan berjiwa angkara, mampu berubah wujud menjadi wanita rupawan tapi sebenarnya raksesi yang bertaring. Kedua pasangan ini terus bermuram durja menghadapi musibah yang tiada henti, sehingga setiap hari keduanya melakukan tapa brata dengan menebus kesalahan. Kemudian sang Dewi hamil kembali melahirkan raksasa kembali. Sekalipun masih berwujud raksasa namun berbudi luhur yaitu Kumbakarna. Akhir Yang Tercerahkan. Musibah demi musibah terus berlalu, keduanya tidak putus putus memanjatkan puaj dan puji ke hadlirat Tuhan yang Maha Kuasa. Kesabaran dan ketulusan telah menjiwa dalam hati kedua insan ini. Serat Sastrajendra sedikit demi sedikit mulai terkuak dalam hati hati yang telah disinari kebenaran ilahi. Hingga kemudian sang Dewi melahirkan terkahir kalinya bayi berwujud manusia yang kemudian diberi nama Gunawan Wibisana. Satria inilah yang akhirnya mampu menegakkan kebenaran di bumi Ngalengka sekalipun harus disingkirkan oleh saudaranya sendiri, dicela sebagai penghianat negeri, tetapi sesungguhnya sang Gunawan Wibisana yang sesungguhnya yang menyelamatkan negeri Ngalengka. Gunawan Wibisana menjadi simbol kebenaran mutiara yang tersimpan dalam Lumpur namun tetap bersinar kemuliaannya. Tanda kebenaran yang tidak larut dalam lautan keangkaramurkaan serta mampu mengalahkan keragu raguan seprti terjadi pada Kumbakarna. Dalam cerita pewayangan, Kumbakarna dianggap tidak bisa langsung masuk suargaloka karena dianggap ragu ragu membela kebenaran. Melalui Gunawan Wibisana, bumi Ngalengka tersinari cahaya ilahi yang dibawa Ramawijaya dengan balatentara jelatanya yaitu pasukan wanara (kera). Peperangan dalam Ramayana bukan perebutan wanita berwujud cinta namun pertempuran demi pertempuran menegakkan kesetiaan pada kebenaran yang sejati. Disarikan dan dicuplik di http://www.alangalangkumitir.wordpress.com dan Video Wayang Lakon SastraJendro Hayuningrat oleh Dalang Setan “ Ki Manteb Soedarsono” yang pasti versinya agak berbeda karena disesuaikan dengan kebutuhan oleh sang dalang, namun intinya adalah sama. Dan bagi penikmat Ki Manteb Sodarsono dalam menu video wayang dalam website ini, akan segera di up load agar bisa ditonton bersama. Arya Gandamana adalah nama seorang tokoh pewayangan yang tidak terdapat dalam naskah wiracaritaMahabharata, karena merupakan asli ciptaan pujangga Jawa. Tokoh ini menjabat sebagai patihKerajaan Hastina zaman pemerintahan Pandu, ayah para Pandawa.
Karena fitnah Sangkuni, Gandamana terpaksa meninggalkan kedudukannya dan kembali ke tanah airnya, yaitu Kerajaan Pancala, di mana ia berada di sana sampai akhir hayatnya. Kematiannya terjadi pada saat ia menggelar sayembara untuk memperebutkan keponakannya yang bernama Drupadi Asal-Usul Gandamana adalah putra Gandabayu raja Kerajaan Pancala yang lahir dari permaisuri bernama Trilaksmi. Memiliki kakak perempuan bernama Gandawati yang menikah dengan Drupada, raja Pancala selanjutnya. Gandamana sendiri merupakan reinkarnasi seorang pendeta muda bernama Resi Jarwada yang pernah menyerang kahyangan menantang para dewa. Gandamana berguru kepada Pandu raja Kerajaan Hastina yang mengajarinya berbagai macam ilmu kesaktian. Menikahkan Gandawati Meskipun menjabat sebagai putra mahkota di Kerajaan Pancala, Gandamana menolak menjadi raja karena ingin mengabdi kepada Pandu. Ia pun mengadakan sayembara, barang siapa bisa mengalahkan dirinya berhak menjadi suami Gandawati dan mewarisi takhta Kerajaan Pancala. Banyak pelamar dari golongan ksatriya mencoba mengikuti sayembara tersebut namun tidak ada yang mampu mengalahkan Gandamana. Pandu sendiri hadir sebagai penonton bersama seorang pembantunya yang berasal dari negeri Atasangin bernama Sucitra. Pandu kemudian mendaftarkan Sucitra untuk mengikuti sayembara. Dengan memakai sumping (hiasan telinga) milik Pandu, Sucitra berhasil mengalahkan Gandamana. Sucitra pun resmi menjadi suami Gandawati sedangkan Gandamana mengabdi kepada Pandu sebagai patihKerajaan Hastina. Sesuai kesepakatan, setelah Gandabayu meninggal dunia, maka yang menjadi raja Pancala bukan Gandamana, melainkan Sucitra, dengan bergelar Drupada. Korban Fitnah Di negeri Hastina, Gandamana memiliki saingan politik bernama Arya Suman. Suatu hari keduanya dikirim Pandu untuk menumpas pemberontakan Tremboko raja Pringgadani. Pemberontakan ini juga terjadi akibat adu domba yang dilancarkan oleh Suman sendiri. Di tengah jalan, Suman menjebak Gandamana sehingga jatuh terperangkap ke dalam lobang dan kemudian ditimbuni dengan bongkahan-bongkahan batu. Setelah itu, Suman kembali ke Hastina menyampaikan laporan palsu bahwa Gandamana telah menyeberang ke pihak musuh. Dalam keadaan bimbang Pandu memutuskan untuk mengangkat Suman sebagai patih baru. Gandamana yang berhasil meloloskan diri dari maut kembali ke Hastina. Di sana ia menyeret dan menghajar Suman sampai babak belur. Wajah Suman yang semula tampan berubah menjadi jelek akibat dianiaya Gandamana. Karena perbuatan "main hakim sendiri" tersebut, Gandamana pun dipecat Pandu dari jabatan patih. Sementara itu Suman yang kehilangan ketampanannya sejak saat itu dikenal dengan sebutan Sangkuni, yang berasal dari kata Saka dan Uni, bermakna "karena ucapan". Menghajar Drona Kumbayana adalah saudara angkat Drupada yang pada suatu hari datang menyusul ke Kerajaan Pancala. Kumbayana datang dengan sikap yang kurang sopan, yaitu memanggil-manggil nama kecil Drupada, yaitu Sucitra, dengan tidak hormat. Gandamana tersinggung melihat kakak ipar sekaligus rajanya diperlakukan dengan kurang sopan. Ia pun menyeret Kumbayana keluar dari istana dan menghajarnya sampai cacad. Wajah Kumbayana yang semula tampan berubah menjadi buruk rupa. Kumbayana kemudian pergi bertapa dan menjadi seorang pendeta bergelar Drona. Ia juga mengabdi di Kerajaan Hastina sebagai guru ilmu perang para Pandawa dan Korawa. Setelah mahir para Korawa dikirim untuk menangkap Drupada dan Gandamana namun tidak ada yang berhasil melakukannya. Para Pandawa pun menggantikan tugas mereka. Kelima putra Pandu tersebut mendatangi Drupada dan Gandamana dan menyampaikan maksud mereka secara baik-baik. Drupada dan Gandamana yang sama-sama berhutang jasa kepada Pandu tidak kuasa menolak permintaan para Pandawa. mereka pun menyerah secara baik-baik untuk dihadapkan kepada Drona. Di hadapan Drona, Drupada menyerahkan sebagian wilayah Pancala kepadanya. Kematian Dalam pewayanganJawa, kisah sayembaraDrupadi diceritakan dalam dua versi, yaitu sayembara memanah dan sayembara pertandingan. Untuk sayembara memanah kisahnya mirip dengan versi aslinya, yaitu versi Mahabharata. Sedangkan sayembara pertandingan adalah hasil ciptaan para pujangga Jawa. Dikisahkan putri sulung Drupada yang bernama Drupadi dilamar banyak orang. Gandamana mengumumkan barangsiapa mampu mengalahkan dirinya berhak memperistri keponakannya tersebut. Tujuan Gandamana menggelar sayembara ialah untuk menemukan calon suami yang paling tepat untuk Drupadi. Hampir semua penantang tidak ada yang mampu mengalahkan Gandamana, termasuk para Korawa yang juga ikut mendaftar. Akhirnya muncul seorang pendeta muda gagah mengajukan diri. Gandamana dengan sadar mengetahui kalau lawannya kali ini adalah Bimasena putra Pandu. Dalam pertandingan tersebut Gandamana berhasil menangkap dan mencekik Bima. Bima yang kehabisan napas merintih menyebut nama ayahnya. Begitu mendengar nama Pandu disebut, Gandamana langsung luluh hatinya. Teringat kepada guru yang sangat ia hormati, Gandamana menjadi lengah. Tanpa sengaja, kuku pusaka Bima yang bernama Pancanaka menusuk dada Gandamana. Gandamana pun roboh. Dalam keadaan sekarat, Gandamana sempat mewariskan semua ilmu kesaktiannya kepada para Pandawa. Bima mendapatkan ilmu Ungkalbener dan Bandung Bandawasa, sedangkan Puntadewa dan Arjuna masing-masing memperoleh kalung Robyong dan ilmu Sepi Angin. Gandamana akhirnya meninggal dunia akibat lukanya. Namun ia merasa lega karena keponakannya mendapatkan putra Pandu sebagai suami. Bima sendiri mengikuti sayembara tersebut bukan untuk dirinya sendiri, melainkan atas nama Puntadewa, kakak kandungnya. Bentuk Fisik Dalam pedalangan gaya Surakarta, bentuk fisik wayang kulit Gandamana sangat mirip dengan Antareja, putra sulung Bimasena. Yang berbeda hanya model rambut yang menghiasi kepala masing-masing. Kemiripan ini menyebabkan beberapa dalang pernah menampilkan kisah tentang Antareja sebagai reinkarnasi dari Gandamana. Disarikan & Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Gandamana" Prabu Duryudana bersama Patih Sengkuni, Resi Durna, Dursasana, Kartamarma dan para punggawa negeri Astina membicarakan strategi untuk menghancurkan Pandawa. Atas saran dari Dursasana dan Patih Sengkuni, raja Astina memerintahkan Dursala untuk menumpas Pandawa dengan pusaka andalan Aji Gineng pemberian Resi Picaso. Keberangkatan Dursala ke negeri Amarta diiringi barisan Kurawa dibawah komando Patih Sengkuni. Di negeri Amarta, Prabu Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa menerima kedatangan Prabu Kresna dan Setyaki. Mereka membahas mimpi Prabu Kresna tentang malapetaka yang menerjang negeri Amarta. Kedatangan Punggawa mengabarkan bahwa negeri Amarta diserang Kurawa dibawah pimpinan Dursala. Werkudara, Arjuna dan Setyaki mencoba menghadapi Kurawa, namun mereka dapat dikalahkan oleh Dursala dengan Aji Pangrayangan. Prabu Kresna menasihati Werkudara, Arjuna dan Setyaki agar menyingkir dari amukan Dursala yang juga memiliki Aji Gineng yang sangat mematikan. Abimanyu bersama Semar, Gareng, Petruk dan Bagong berangkat ke Pertapaan Cemara Sewu untuk menyusul Gatutkaca yang tengah berguru kepada Resi Seta. Di perjalanan langkah mereka mendapat gangguan makhluk halus prajurit Batari Durga, namun Abimanyu berhasil mengatasinya. Di Pertapaan Cemara Sewu, Resi Seta menjelaskan Aji Narantaka yang telah dikuasai Gatutkaca. Lawan yang terkena pukulan Aji Narantaka, tubuhnya akan menjadi debu. Gatutkaca bersumpah jika ada wanita yang kebal Aji Narantaka akan diperistrinya. Kedatangan Abimanyu dan Punakawan mengabarkan bencana di Amarta akibat ulah Dursala dengan Aji Ginengnya. Gatutkaca, Abimanyu dan Punakawan berpamitan kepada Resi Seta. Di perjalanan Gatutkaca dicegat Dewi Galawati hingga terjadi perkelahian. Karena kebal terhadap Aji Narantaka Gatutkaca, Dewi Galawati diperistri Gatutkaca dengan berganti nama Dewi Sumpani. Raja Astina menerima kabar gembira atas kemenangan Dursala menduduki ibukota Amarta. Niat Dursala membumihanguskan istana Amarta ditentang oleh Resi Bisma dan Adipati Karna, karena dirasa tidak manusiawi. Adipati Karna bergegas menyusul Dursala ke negeri Amarta. Terjadi pertengkaran antara Dursala dan Adipati Karna yang berlanjut perkelahian. Karena kesaktian Dursala, Adipati Karna melarikan diri pulang ke Awangga. Di dalam istana Amarta, Prabu Kresna dan keluarga Pandawa berunding untuk mencari siasat mengalahkan Dursala. Kedatangan Gatutkaca mewartakan bahwa dirinya telah selesai berguru kepada Resi Seta dan mendapatkan Aji Narantaka. Gatutkaca bersedia menghadapi Dursala yang berada di halaman istana Amarta. Terjadilah perkelahian sengit antara Gatutkaca melawan Dursala. Ketika Dursala mengeluarkan Aji Gineng, Gatutkaca menghindar dengan cara terbang ke angkasa. Saat Dursala lengah, Gatutkaca menghantamkan Aji Narantakanya ke tubuh Dursala hingga tewas. Mengetahui kejadian ini, Dursasana dan prajurit Astina mengamuk, namun dapat dikalahkan oleh Werkudara dan anak-anak Pandawa. Akhirnya mereka berkumpul di negeri Amarta untuk memanjatkan syukur agung kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas keselamatan negara dari ancaman musuh dengan sesanti "Sura Sudira Jayanikangrat Swuh Brastha Tekaping Ulah Darmastuti" yang artinya Sekuat-kuatnya manusia kalau untuk kejahatan, tetap akan kalah oleh kebaikan. Disarikan dari sumber: http://id.shvoong.com/humanities/history/1961572-aji-narantaka-gatutkaca This is your new blog post. Click here and start typing, or drag in elements from the top bar.
Pada kesempatan ini, utk menambah wawasan bagi penikmat wayang kulit, maka kami akan sharring lakon wayang secara berkala. Untuk saat ini akan kami berikan lakon RADEN GATOTKOCO LAIR.
Yang menjadi pertanyaan mengapa Raden Gatotkoco ksatria Pringgondani yang menjadi pilihan pertama dalam lakon yang ditampilkan dalam website Ki Bondhan Riyanto ini. karena memang banyak suri tauladan dalam diri R. Gatotokoco, dia ksatria dan senopati perang negara Ngamarto dan akhirnya gugur di medan laga perang Bharatayudha, sebagai kusuma nan harum semerbak sebagai pahlawan di medan laga. Karena Hanya karena R. Gatotkoco lah Raja Basukarna di Awangga akhirnya mengeluarkan senjata pamungkas pemberian dewa yakni Sejata Kunthowijyandanu. Dengan hilangnya senjata pamungkas wijayandanu itulah maka menjadikan jalan bagi Arjuna utk mengalahkan Narpati Basukarna. Silahkan dinikmati secara bertahap bagaimana lahirnya ksatria utama dari pringgondani ini, yang sejak bayi telah menjadi jagonya para dewata. I. JEJER KAYANGAN JONGGIRISALAKA. (Suluk Patet Nem wantah: Dyan nembah nireng hulun, kapurba risang murbeng rat, dahananing kang, dyan kanang sihing dasih...o...o) Sang Hayang Bhatara Guru dihadapan para punggawa dewa yakni Bhatara Narada, Indra dan Panyarikan berembug tentang musuh yang berani naik ke Kayanga Jonggringsalaka yang ingin meminta kekuasaan para dewa termasuk kekuasaan Bhatra guru. Dimana Raja Raksasa Sang Prabu Kalapracona Raja Raksasa dari Negara Pager waja telah mengirimkan utusan yang bernama Patih Sekipu yang telah menggelar pasukan segerla sepapan di repat Kapanasan. Oleh karen itu Bhatara Guru memrintahkan kepada Bhatara Narada supaya mempersiapkan pasukan para dewa dewandara supaya mengusir musuh yang telah berbaris di repat panakawan. Yang diutus segera pamit untuk menghadapi musuh, lalu budhalan medal jawi bedhol jejer. Dalam dunia wayang kulit kita sarat dengan pendidikan politik (tatapraja), tatakrama (unggah-ungguh), pendidikan agama.
Dalam dunia pewayangan kita juga mengenal beberapa hal diantaranya kata brahmana, ksatria, wisya, sudra. Dengan mengenal tingkat status sosial maka masing-masing tokoh bisa mengenal dirinya sebagai apa dan harus bagaimana dalam bersikap dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari dalam dunia pewayangan. Misal Seorang Brahmana dalam membawakan diri harus : a. Sumeh : ramah tamah terhadap siapapun dan selalu bermuka jernih. Murah senyum. b. Sareh : tidak mudah emosi, semua diatasi dengan kebijaksanaan. c. Waleh : selalu berterus terang dan tidak ada yang dirahasiakan. d. Sumeleh : percaya kepada keadilan Tuhan. Berpegang pada siapa yang menanam dia yang akan menuai. e. Aja remeh : tahu untuk tidak bertindak nistha, seperti menipu, maling, membunuh, main perempuan dan lain-lain. Kastra Sudra dalam dunia pewayangan menggambarkan kawula alit yang penuh dengan kekurangan baik secara fisik maupun mental spiritual, sehingga mereka digambarkan dalam bentuk yang tidak sempurna. Misal seperti tokoh dibawah ini. Nala Gareng, secara fisik dia diberi kekurangan: mata kero, sikil pencik, tangan ceko, irung menthol. Petruk (wudel bodhong, irung bangir, awak bungkuk), Bagong (pawakan cebol, lambe doble, irung pesek), Semar (secara fisik sama dengan Bagong), Bilung (orang kerdil, banyak borok, kudisan), Togog juga demikian adanya, semuanya ini menggambarkan kawula alit yang penuh dengan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan. Tokoh-tokoh inilah yang dapat melengkapi dunia pertunjukan wayang kulit sehingga semakin komplit dan dapat diterima disemua kalangan masyarakat. Dengan tokoh2 sudra inilah para dalang mampu memberikan kritik-kritik yang pedas terhadap tatanan masyarakat dan pemerintahan yang tidak sesuai dengan norma. (BERSAMBUNG, DISARIKAN DARI BERBAGAI SUMBER). |
AuthorHangleluri Budaya Jawi Kang Agung & Lan Adhi Luhung. Categories
All
|